PERBEDAAN HAWA DAN NAFSU

HAWA NAFSU, Dari kata ini sudah dapat difahami bahwa HAWA timbul dari NAFSU sebab kata HAWA dimudhafkan pada kata NAFSU, tidak mungkin diucapkan terbalik menjadi NAFSU HAWA... ^_^ sebagaimana memahami ayat ini :

وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى

"menahan NAFSU dari HAWA"

NAFSU = diri sendiri secara mutlaq

HAWA = keinginan-keinginan

HAWA NAFSU = keinginan diri

Selanjutnya kita fahami ayat 3-4 surat An-Najm berikut :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Dalam tafsir Jalalain disebutkan :

{ وَمَا يَنْطِق} بِمَا يَأْتِيكُمْ بِهِ {عَنِ الْهَوَى} هوى نفسه

fokus :

هوى نفسه

HAWA NAFSU nya, yakni Al-Qur'an itu bukan melalui HAWA yang timbul dari NAFSU beliau, melainkan WAHYU dari ALLAH.

> Hadlro Maut

Kembali ke pertanyaan... Apa bedanya HAWA dengan NAFSU" dalam beberapa literatur, yang dikonfrontir adalah antara NAFSU denga RUH, atau Hawa dengan syahwat, belum menemukan antara NAFSU dengan Hawa. Contoh:

الفرق بين الهوى والشهوة (1) : الفرق بينهما بأن الهوى يختص بالاداء والاعتقادات، والشهوة تختص بنيل المستلذات.

وفرّق بعض العلماء بين " النفس " و " الروح " فقال: " الروح " هو الذي به الحياة، و " النفس " هي التي بها العقل. فإذا نام النائم، قَبَضَ الله نفسه، ولم يقبض روحه. والروح لا يُقبض إلاّ عندَ الموتِ

> Mlaku Ndungkluk

Akal, Nafs Dan Hawa. Allah Ta’âlâ berfirman kepada orang-orang yang memiliki hati, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati.” (QS Qaf, 50:37). Dan ketika menyebut nafs Allah Ta’âlâ berfirman, “Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan...” (QS Yusuf, 12:53).

Allah berfirman kepada Musa as, “Salahkanlah nafs-mu, karena yang paling layak untuk disalahkan adalah nafs. Ketika bermunajat kepada-Ku, bermunajatlah dengan lisan yang shidq dan hati yang takut.”

Ketahuilah, setiap kali hati memiliki sesuatu yang baik, maka nafs pun memiliki hal serupa yang dapat mengaburkan. Sebagaimana Allah memberi hati keinginan (irâdah), maka Allah juga memberi nafs angan-angan kosong (tamanniy). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan cinta (mahabbah), maka Allah memberi nafs hawa nafsu (hawâ). Sebagaimana Allah memberi hati harapan (rojâ`), maka Allah memberi nafs ketamakan (thoma’). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan takut (khauf), maka Allah memberi nafs perasaan putus asa (qunûth). Perhatikan dan renungkan kata-kataku ini.

Salah satu contoh yang dapat memberikan gambaran jelas kepadamu adalah keadaan orang yang terlilit hutang. Kamu seringkali melihat orang yang tidak mau melunasi hutangnya. Namun ketika memperoleh harta, ia justru menyedekahkannya, dan tidak berusaha melunasi hutangnya. Itulah contoh perbuatan baik yang timbul dari nafs. Sebab, di antara sekian banyak jenis nafs, ada nafs yang suka melakukan murûah dan merasakan kenikmatan ketika memberi.

Orang yang nafs-nya seperti ini merasakan kenikmatan dalam memberi sebagaimana orang jahat merasakan kenikmatan ketika menolak permohonan pertolongan. Demikian pula halnya dengan mereka yang mengerjakan sunah, tapi meninggalkan yang wajib. Misalnya: orang yang mengerjakan ibadah haji berulang kali dengan uang halal dan haram serta mengabaikan ketakwaan dalam urusan-urusannya yang lain. Di antara mereka ada yang menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, tapi meremehkan salat. Hasan Al-Bashri rhm berkata, “Ada seseorang berkata,’ Aku telah haji, aku telah haji.’ Kamu telah menunaikan ibadah haji, oleh karena itu sambunglah tali silaturahmi, bantulah orang yang sedang kesusahan, dan berbuat baiklah kepada tetangga.”

Contoh lain adalah orang-orang yang mencari harta haram kemudian membelanjakannya dalam kebaikan. Sebagaimana telah kuberitahukan kepadamu, semua perbuatan ini digerakkan oleh nafs, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hati.

Allah menjadikan “perbuatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan” untuk nafs dan “perbuatan yang dikerjakan secara wajar” untuk hati. Jika kamu melihat perilaku, atau pencarian ilmu dan ibadah dikerjakan dengan tenang (thuma’ninah), maka ketahuilah bahwa perbuatan itu muncul dari hati dan pelakunya adalah orang berakal. Tetapi, jika kamu melihat seseorang yang perilaku, cara menuntut ilmu dan ibadahnya tidak dilakukan dengan tenang, pelakunya emosional dan bodoh, maka ketahuilah bahwa kegiatan itu digerakkan oleh nafs dan hawâ. Sebab, hawâ merusak dan menggoncangkan akal. Di mana pun berada, hawâ akan selalu merusak.

Demikianlah sifat hawâ. Jika hawâ berinteraksi dengan akal, hawâ akan merendahkan dan menggoyahkannya. Jika berinteraksi dengan agama, hawâ akan mengotori dan merusaknya. Sehingga kamu dapat melihat bahwa orang yang agamanya dan cara ber-sulûk-nya baik bila dikuasai oleh hawâ, urusannya menjadi kacau, keadaannya menjadi buruk dan dibenci masyarakat. Begitulah sifat kebatilan, ia akan merusak kebenaran, jika keduanya bercampur. Jika hawâ mampu merusak orang yang berakal dan beragama, lalu bagaimana menurutmu jika hawâ merasuki para pecinta dunia yang jiwanya lemah? Bagaimana keadaan mereka nanti?

Segala hal yang dirusak oleh hawâ dapat diperbaiki oleh akal, karena hawâ mempunyai tingkat setaraf dengan akal. Hawâ akan merendahkan dan menjerumuskan manusia, sebaliknya akal akan memuliakan dan meninggikannya. Sungguh besar perbedaan keduanya!

Kamu lihat orang yang dipengaruhi hawâ tampak seperti orang buta, tidak tahu jalan (menuju Allah). Hawâ menghambatnya dari mencari sesuatu yang memiliki hakikat, membuatnya tidak memikirkan akibat perbuatan yang ia lakukan, membuatnya suka bertengkar dan bermusuhan, membuang-buang umur dalam mencintai dan membanding-bandingkan keutamaan para imam.

Lain halnya dengan orang-orang yang berakal, mereka sibuk dengan diri mereka sendiri, menyempurnakan semua amal mereka dengan niat-niat yang baik, memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya, berusaha keras untuk berbuat kebajikan, dan menyesali perbuatan baik yang tidak dapat mereka kerjakan.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Catatan : Hawâ adalah makanan nafs. Hal ini membuat nafs sangat bergantung dan sulit melepaskan diri dari cengkeraman hawâ. Oleh karena itu, jauhilah hawâ dan bebaskanlah nafs-mu darinya. Sebab, hawâ akan menodai agama dan murûah-mu. Jika kamu perhatikan dan beda-bedakan semua peristiwa yang terjadi, maka akan kamu dapati bahwa hawâ-lah yang menjadi sumber segala fitnah dan bencana dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena, hawâ merupakan sumber kebatilan dan kesesatan. Hawâ bak minuman memabukkan. Seseorang yang meneguknya akan dikuasai oleh minuman itu dan akan hilang akal sehatnya.

Murûah: usaha seseorang untuk melaksanakan semua hal yang dianggap baik dan menjauhi semua hal yang dianggap buruk oleh masyarakat.

> Mbah Jenggot II

Kesimpulanya aku jadi teringat cerita dan dongeng diwaktu kecil ketika Abu nawas dibawa ke pengadilan karena mengeluarakn pernyataan : ORANG PINTAR SELALU TIDAK SEPAKAT DAN TIDAK KOMPAK. Dia buktikan dengan memberikan pertanyaan kepada 7 orang pintar dan ahli yang terdiri dari ahli fisiologi, doktor, ahli hukum dan beberapa ahli dalam bidang yang berlainan untuk menjdadi saksi kebenaran ucapanya. Abu nawas berikan pertanyaan yang sangat mudah : APA ITU ROTI?

Mereka diminta menjawab dalam tulisan,lalu tulisan tersebut dikumpulkan. Ternyata jawaban mereka saling berlainan Orang pertama menjawab, roti adalah makanan. Orang kedua berpendapat, roti adalah gandum dan air. Orang ketiga yang alim menjawab, roti adalah kurnia Tuhan. Sedang ahli keempat menjawab, roti adalah adonan yang dipanggang.Orang kelima seorang ahli fisiologi memberikan jawaban, artinya berubah sesuai dengan fungsinya. Orang keenam menjawab, sejenis makanan yang bervitamin. Orang ketujuh menjawab, tidak seorang pun yang benar-benar tahu. ITULAH KESIMPULANYA ^__^  met saur semua orang-orang pintar.

Link Asal : > http://www.facebook.com/groups/piss.ktb.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Pemuda yang menemukan cintanya dibulan Ramadha❤😍💕